Menunggu Ketidakpastian di Tengah Urgensi yang Meningkat
Masih ingatkah kita pada awal tahun 2020 ketika DPR menarik pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Prolegnas Prioritas 2020? Yang artinya RUU ini harus menunggu waktu lagi sebelum disahkan. Pemerintah dinilai tidak serius menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Padahal, kasus semakin lama semakin bertambah dan korban tidak bisa menunggu dalam ketidakpastian payung hukum lagi.
Berdasarkan
Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) pada tahun 2020 Komnas perempuan memberikan 672 lembar formulir
kepada lembaga mitra di seluruh Indonesia dengan total pengembalian 239
formulir. Hal ini merupakan tanda-tanda baik dimana tingkat respon pengembalian
meningkat seiring juga naiknya jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar
6% jika dibandingkan dari tahun 2018. Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
(KtP) yang terlapor pada tahun 2019 sebesar 431.471, jumlah ini meningkat bila
dibandingkan dari tahun 2018 dengan jumlah kasus sebesar 406.178. Sebagian
besar data yang terkumpul bersumber dari 3 dengan urutan: 1) Pengadilan
Negeri/Pengadilan Agama dengan total jumlah 421.752 kasus. 2) Lembaga layanan
mitra Komnas Perempuan dengan total jumlah 14.719 kasus. 3) Unit Pelayanan dan
Rujukan (UPR) satu unit yang dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk pengaduan
korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan sebanyak 1.419 kasus.
Dari
data yang telah terkumpul tersebut, tercatat jenis kekerasan terhadap perempuan
yang masih mendominasi sama seperti tahun-tahun sebelumnya adalah kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ranah personal yang berada di angka 75%
(11.105 kasus) dengan bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi kekerasan
fisik 4.783 kasus (43%), kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25%), psikis
sebanyak 2.056 kasus (19%), dan ekonomi 1.459 kasus (13%). Posisi kedua
ditempati adalah kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas atau publik
dengan angka mencapai 24% (3.602 kasus) yang terbagi dalam bentuk kekerasan
Pencabulan (531 kasus), Perkosaan (715 kasus), dan Pelecehan Seksual (520
kasus) lalu persetubuhan sebanyak 176 kasus, sisanya adalah percobaan perkosaan
dan persetubuhan. Dan posisi terakhir adalah kekerasan terhadap perempuan di
ranah negara dengan angka mencapai 0.1% (12 kasus) berasal dari WCC dan LSM. Diantara
12 kasus tersebut, 9 kasus dari DKI Jakarta merupakan kasus penggusuran, kasus
intimidasi kepada jurnalis ketika sedang melakukan liputan, pelanggaran hak
administrasi kependudukan, tuduhan afiliasi dengan organisasi terlarang, kasus
pinjaman online. Kemudian 2 kasus berasal dari Sulawesi Selatan merupakan kasus
pelanggaran hak amdminduk dan hak-hak yang berkaitan dengan BPJS, serta 1 kasus
dari Jawa Tengah merupakan kasus oknum Satpol PP ketika terjadi penggusuran.
Kekerasan
terhadap istri (KTI) masih menjadi kasus dominan seperti tahun-tahun sebelumnya
sebanyak 6.555 kasus (59%), disusul kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak
2.341 kasus (21%), serta kekerasan dalam pacaran yang mencapai angka 1.815
kasus (16%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, kekerasan oleh mantan
pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kasus inses pada tahun
ini mengalami penurunan dengan total 822 kasus. Kasus martial rape juga
mengalami perununan dengan total 100 kasus.
RUU
PKS sebenarnya tidak hanya dituju untuk perempuan, tetapi untuk setiap korban
yang mengalami kasus kekerasan seksual, namun dalam masyarakat yang didominasi
oleh laki-laki, perempuan sebagai kelompok termarjinalkan harus memiliki
kesempatan. Sudah sejak 2012, saat pertama kali RUU PKS mengeluarkan naskah
akademik kemudian selama periode 2014-2019, proses pembahasan RUU PKS hanya
bisa sampai di pembahasan tingkat pertama lalu berhenti disitu. Sampai saat
tulisan ini diterbitkan, RUU PKS belum juga disahkan meskipun sudah masuk ke
dalam prolegnas prioritas tahun 2021.
Comments
Post a Comment